Konflik mengenai perbatasan Singapura
dan Malaysia ini sesungguhnya bukanlah hal
yang baru lagi diantara negara-negara ASEAN. Hubungan bilateral antara
Singapura dan Malaysia terbilang rumit. Salah satunya soal permasalahan
perbatasan di wilayah Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh. Awal munculnya sengketa
bermula dari Singapura memprotes tindakan Malaysia memasukkan pulau Pedra
Branca dalam teritorinya saat menerbitkan peta baru Malaysia. Malaysia pun
membawa perkara tersebut lanjut ke meja Mahkamah Internasional di Hamburg pada
4 September 2003.
Persengketaan wilayah antara Singapura
dan Malaysia adalah perebutan pulau yang terletak di pintu masuk selat
Singapura sebelah timur, terdapat tiga pulau yang dipersengketakan, yaitu Petra
Branca (disebut Pulau Batu Puteh oleh Malaysia), Batuan Tengah dan Karang
Selatan. Persengketaan dimulai pada tahun 1979 dan keputusan Mahkamah
Internasional telah menetapkan satu dari dua pulau tersebut yaitu Petra
Branca jatuh pada
Singapura pada tahun 2008 lalu, Sementara 'Batuan Tengah' diberikan pada Malaysia.
gambar: wikipedia
Keberadaan 'Batuan Tengah' ini berada di atas terumbu
karang pantai utara atau pulau granit Pulau Bintan wilayah Kabupaten Bintan,
Kepulauan Riau, terletak 8.0 mil laut dari Johor dan 0.6 mil laut dari Pedra Branca, Singapura.
Meski kecil, pulau ini sangat strategis karena hanya berjarak 14 kilometer
melalui sisi timur untuk menuju Selat Singapura melalui Laut China Selatan.
Malaysia dan Singapura telah menetapkan pilihannya dengan
memberi nama Komite Teknik Bersama untuk membatasi batas kelautan daerah
sekitar Pedra Branca dan Middle Rocks untuk menentukan kepemilikan South Ledge. Dalam perebutan pulau itu,
Malaysia hanya mendapat pulau ‘Batuan Tengah’ yang lebih kecil, tidak
berpenduduk dan penuh batu-batuan. Sedangkan pulau ‘Karang Selatan’ masih disengketakan, hingga kini kepemilikannya masih terkatung-katung belum menemukan
titik temu kesepakatan, menunggu keputusan berikutnya. Putusan pengadilan itu didasarkan
kenyataan bahwa Singapura telah berdaulat sejak 30 tahun lalu, dengan dioprasikan mercu suar (1851) tanpa ada protes dari Malaysia.
Pengadilan Internasional tidak memutuskan secara definitif
pada singkapan yang tersisa, South Ledge
dan hanya mengumumkan bahwa itu milik negara dalam wilayah perairan yang
berada. Sementara Malaysia dan Singapura hingga kini masih mempertanyakan
kejelasan kepemilikan pulau ‘karang selatan’ tersebut.
Stategi untuk menyelesaikan persengketaan antara Singapure
dan Malaysia, (menurut saya), ada baiknya kalau melakukan pembuatan peta foto
untuk mengidentifikasi perbatasan antara pulau Petra Branca, Batuan Tengah dan Karang Selatan secara jelas. Harus ada keputusan yang tegas mengenai penempatan peninjauan wilayah
perbatasan. Pembuatan peta tersebut dapat dilakukan segera tanpa menunggu
persetujuan dari parlemen Singapura dan Malaysia, atau menunjuk salah satu Negara
ASEAN yang telah terpercaya melakukan tinjauan dua negara yang bertikai. Misalkan menunjuk Indonesia sebagai Negara
terdekat regionalnya, namun Indonesia tidak akan mengambil alih tanggung jawab kedua
negara untuk memastikan adanya gencatan senjata tetapi mendukung tinjauan
tersebut dan melaporkan secara akurat temuan di lapangan. Tentunya tidak mudah
menyelesaikan persengketaan antara Singapura dan Malaysia yang sudah lama
mengantung ini. Masalah ini merupakan
hal yang rumit karena tidak mungkin selesai dalam satu pertemuan saja.
Memasuki ASEAN 2015, diharapkan permasalahan sengketa ini segera
terselesaikan, mengingat kedua Negara tersebut merupakan sama-sama Negara ASEAN
maka (menurut saya) bila perlu menunjuk Dewan Tinggi ASEAN sebagai mediator agar
kedua negara bersengketa tersebut bisa segera melunak dan membuat kesepakatan "Final and Binding" yang tentunya disetujui oleh kedua Negara
tersebut.
Diplomasi kembali menjadi alat untuk mengatasi masalah tanpa
menggunakan kekerasan. Strategi penyelesaian
dengan cara diplomasi akan membutuhkan waktu yang panjang untuk menghasilkan
keputusan, namun hal itu tentu sesuai dengan prinsip ASEAN yang tertuang dalam
Pasal 2 Piagam ASEAN ayat 2d yaitu "mengedepankan penyelesaian sengketa
secara damai" Diplomasi merupakan alat yang tepat untuk mengatasi masalah
tanpa menggunakan kekerasan.
Jika itu masih tidak mempan, solusi penyelesaiannya sebaiknya
diserahkan pada pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Internasional dan
pandangan kementerian terkait, dengan Dewan Negara sebagai alat hukum
pemerintah dan menteri kabinet sama-sama menyampaikan pandangan Mahkamah
Konstitusi Internasional memutuskan bahwa proses delegasi Singapura dan
Malaysia telah selesai, sehingga tidak perlu membutuhkan persetujuan Singapura
dan Malaysia.
Yang terpenting dalam mempersiapkan ASEAN 2015, penyelesaian itu bisa
segera terselesaikan tanpa menggunakan kekerasan, serta dapat memobilisasi negara
anggota lain untuk menggunakan mekanisme tersebut, sesuai dengan target yang
ingin dicapai pada masa keketuaan ASEAN 2015 yaitu kemajuan signifikan dan
konkrit ketiga pilar yang meliputi politik, ekonomi dan sosial budaya ASEAN.
******
Sumber: wikipedia
Tulisan ini di posting dalam mengikuti lomba #10daysforASEAN yang diselenggarakan oleh ASEAN Blogger
No comments:
Post a Comment