.

Monday, September 2, 2013

Dilematis Kebebasan Pers Filipina

Kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan salah satu hak yang paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Perlindungan dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu adanya transparansi / keterbukaan yang melibatkan peran serta masyarakat. Maka dari itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsinya mencari dan memberitakan informasinya harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi.

Pengekangan kebebasan pres berekspresi yang terlalu berlebihan akan meresahkan media journalism untuk kebebasan menyebar luaskan informasi yang ada akan dipaksa untuk memuat setiap berita yang palsu, atau tidak boleh bertentangan dengan pemerintah. Bisa jadi, kebebasan pers ada tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan apabila kebebasan pers itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers tersebut.
pic: pontianak.tribunnews


Pers yang bebas aktif dan independen merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Layaknya publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin.

Pada sapuluh tahun terakhir terdapat tiga negara di Asia Tenggara yang terkenal sebagai negara bebas berekspresi, salah satunya adalah Negara Filiphina. Namun bagaimanapun juga kebebasan itu bukan berarti tiap orang dapat mengeluarkan pendapatnya sebebas-bebasnya aja, namun ada kebebasan pres dengan syarat penyampaian informasi atau berita dengan etika yang baik. Tidak menyebarkan berita atau isu-isu palsu yang belum teruji kebenarannya.

Jikalau di Indonesia ada UU ITE (Informasi dan Transaski Elektronik), begitu juga dengan Filipina juga mengeluarkan undang-undang yang membatasi kebebasan itu.

Kontrofersi pencekalan berlakunya perundang-undang kebebasan berekspresi, (termasuk kebebasan pers, kejahatan dunia maya) di Filipina kini semakin heboh diberitakan. Setelah pemerintah Filipina dinilai memberikan batasan kebebasan berekspresi Undang-undang anti kejahatan siber (cybercrime), maka Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang menghentikan sementara undang-undang itu lantaran mendapat gugatan hukum dari jurnalis dan aktivis HAM.

Pemicu pemberhentian sementara Undang-undang itu dimaksudkan agar kebebasan itu tidak terlewat batas. Seperti yang kita ketahui dalam dunia online banyak sekali kejahatan online yang memanfaatkan seseorang bebas berbuat kejahatan, seperti  pencurian identitas, penyebaran pesan palsu atau yang berbau terror dan penyebaran situs pornografi anak. Pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media social internet yang menyajikan berita politik yang berlebihan dan bebasnya hiburan (seks).

Filipina yang terkenal akan kebebasan pers-nya kini sedang galau untuk menentukan kebebasan pres dan bebas berekspresi pada warga negaranya. Entah sampai kapan peraturan perundang-undangan kebebasan pres ini akan ditetapkan di Filiphina masih belum ada kepastian, sejumlah pejabat juga enggan memberikan  komentar terkait hal tersebut. Akibatnya pada sebagian aktivis, UU tersebut dirasa akan mencederai kebebasan berekspresi rakyat Filipina dan sepenuhnya tidak sesuai dengan kewajiban pemerintah Filipina di bawah hukum Internasional. 

Kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi di negara-negara anggota ASEAN tidak lah sama. Sementara itu, beberapa negara ASEAN mengalami kemunduran dalam peringkat Indeks. Filipina jatuh menuju tempat ke 147 dari 140. Kritikus mempertanyakan definisi umum provokasi online bisa mendapatkan hukuman berat yang ditentukannya (hingga 12 tahun penjara) serta besarnya kekuatan investigasi aparat yang dinilai dapat melanggar privasi seseorang. Pemerintah pun didesak merevisi undang-undang tersebut.

Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Filipina cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Akses mendapatkan informasi menjadi kian terbatas. Dalam kerangka ini, pers harus lebih hati-hati didalam menyebar luaskan informasi dalam negeri maupun internasional, khususnya pada social media internet.

Oleh karena itu, Pers belum bisa memposisikan dirinya sebagai institusi yang independen, tetapi semua kesalahan itu jangan di limpahkan kepada pihak pers saja, karena pers disini posisinya menjadi korban dari para penguasa, dan oknum-oknum yang mempunyai kepentingan. Kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press) merupakan sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), agar tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press).

*****


Tulisan ini diposting dalam rangka lomba blog 10daysforASEAN yang diselenggarakan oleh ASEAN Blogger

No comments: