Kebebasan berekspresi dan
berpendapat merupakan salah satu hak yang paling mendasar dalam kehidupan bernegara.
Perlindungan dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu adanya
transparansi / keterbukaan yang melibatkan peran serta masyarakat. Maka dari
itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsinya mencari dan
memberitakan informasinya harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi.
Pengekangan kebebasan pres
berekspresi yang terlalu berlebihan akan meresahkan media journalism untuk kebebasan menyebar luaskan informasi yang ada akan
dipaksa untuk memuat setiap berita yang palsu, atau tidak boleh bertentangan
dengan pemerintah. Bisa jadi, kebebasan pers ada tetapi lebih terbatas untuk
memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan kontrol publik
(termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan apabila kebebasan pers itu lebih
tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya
pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers
tersebut.
pic: pontianak.tribunnews
Pers yang bebas aktif dan
independen merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat,
sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan
antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang
penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada
tirani media terhadap publik. Layaknya publik harus tetap mendapatkan informasi
yang benar dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan
berita harus dengan se-objektif mungkin.
Pada sapuluh tahun terakhir
terdapat tiga negara di Asia Tenggara yang terkenal sebagai negara bebas berekspresi,
salah satunya adalah Negara Filiphina. Namun bagaimanapun juga kebebasan itu
bukan berarti tiap orang dapat mengeluarkan pendapatnya sebebas-bebasnya aja, namun ada kebebasan pres dengan
syarat penyampaian informasi atau berita dengan etika yang baik. Tidak
menyebarkan berita atau isu-isu palsu yang belum teruji kebenarannya.
Jikalau di Indonesia ada UU ITE (Informasi
dan Transaski Elektronik), begitu juga dengan Filipina juga mengeluarkan undang-undang
yang membatasi kebebasan itu.
Kontrofersi pencekalan berlakunya
perundang-undang kebebasan berekspresi, (termasuk kebebasan pers, kejahatan
dunia maya) di Filipina kini semakin heboh diberitakan. Setelah pemerintah
Filipina dinilai memberikan batasan kebebasan berekspresi Undang-undang anti
kejahatan siber (cybercrime), maka
Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang menghentikan sementara undang-undang
itu lantaran mendapat gugatan hukum dari jurnalis dan aktivis HAM.
Pemicu pemberhentian sementara Undang-undang
itu dimaksudkan agar kebebasan itu tidak terlewat batas. Seperti yang kita
ketahui dalam dunia online banyak sekali kejahatan online yang memanfaatkan
seseorang bebas berbuat kejahatan, seperti
pencurian identitas, penyebaran pesan palsu atau yang berbau terror dan penyebaran
situs pornografi anak. Pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk
masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Kebebasan pers
dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan
pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media social internet yang menyajikan
berita politik yang berlebihan dan bebasnya hiburan (seks).
Filipina yang terkenal akan kebebasan
pers-nya kini sedang galau untuk
menentukan kebebasan pres dan bebas berekspresi pada warga negaranya. Entah
sampai kapan peraturan perundang-undangan kebebasan pres ini akan ditetapkan di
Filiphina masih belum ada kepastian, sejumlah pejabat juga enggan memberikan komentar terkait hal tersebut. Akibatnya pada
sebagian aktivis, UU tersebut dirasa akan mencederai kebebasan berekspresi
rakyat Filipina dan sepenuhnya tidak sesuai dengan kewajiban pemerintah
Filipina di bawah hukum Internasional.
Kebebasan berekspresi dan
kebebasan informasi di negara-negara anggota ASEAN tidak lah sama. Sementara itu, beberapa negara ASEAN mengalami kemunduran
dalam peringkat Indeks. Filipina jatuh menuju tempat ke 147 dari 140. Kritikus
mempertanyakan definisi umum provokasi online bisa mendapatkan hukuman berat
yang ditentukannya (hingga 12 tahun penjara) serta besarnya kekuatan
investigasi aparat yang dinilai dapat melanggar privasi seseorang. Pemerintah
pun didesak merevisi undang-undang tersebut.
Sungguh ironi, dalam sistem
politik yang relatif terbuka saat ini, pers Filipina cenderung memperlihatkan
performa dan sikap yang dilematis. Akses mendapatkan informasi menjadi kian
terbatas. Dalam kerangka ini, pers harus lebih hati-hati didalam menyebar
luaskan informasi dalam negeri maupun internasional, khususnya pada social media
internet.
Oleh karena itu, Pers belum bisa
memposisikan dirinya sebagai institusi yang independen, tetapi semua kesalahan
itu jangan di limpahkan kepada pihak pers saja, karena pers disini posisinya
menjadi korban dari para penguasa, dan oknum-oknum yang mempunyai kepentingan. Kebebasan
pers yang bertanggung jawab (free and responsible press) merupakan sebuah
perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa
(insan pers), agar tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta
kekuasaan media massa (the power of the press).
Sumber : khabarsoutheastasia.com
Tulisan ini diposting dalam rangka lomba blog 10daysforASEAN yang diselenggarakan oleh ASEAN Blogger
No comments:
Post a Comment